Jakarta, SUARA TANGERANG – Anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto mengungkapkan, RUU Cipta Kerja pangkas peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam proses penetapan fatwa halal.
Menurutnya, isu strategis seperti ini, perlu dibicarakan secara mendalam dengan melibatkan pihak-pihak terkait agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.
“Persoalan halal-haram merupakan persoalan mendasar dalam ajaran Islam dan soal keyakinan agama bagi kaum Muslimin Indonesia. Karena itu pengaturan masalah ini harus cermat dan hati-hati,” kata Mulyanto di Jakarta, Kamis (13/8/2020).
Politisi PKS ini meminta, agar pembahasan RUU Cipta Kerja tidak dikebut, mengingat sekarang masih masa reses DPR. Ditambah, isi RUU Cipta Kerja ini sangat sensitif dan berpengaruh luas kepada masyarakat.
Sehingga, lanjut dia, harus dibahas secara tatap muka langsung, tidak melalui sarana online seperti sekarang ini.
Mulyanto pun menambahkan, dalam RUU Cipta Kerja ini sedikitnya ada dua isu penting terkait jaminan produk halal yang perlu dicermati masyarakat. Isu tentang siapa yang berwenang menetapkan fatwa halal serta pemberian fatwa halal bagi produk usaha mikro dan kecil berdasarkan ‘pernyataan’ sepihak.
Pasal 49 ayat (4) RUU Omnibus Law Ciptaker mengubah pasal 10 ayat (2) UU No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang semula penetapan kehalalan produk oleh MUI menjadi: penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan MUI dan Ormas Islam yang berbadan hukum dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk.
Sedangkan dalam pasal 49 ayat (2), RUU Ciptaker menyisipkan pasal-pasal baru, yaitu (4A), yang berbunyi: (1) Untuk Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 didasarkan pernyataan pelaku usaha Mikro dan Kecil. (2) Pernyataan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH.
Bedasarkan beleid ini, maka Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH) didasarkan pada fatwa tertulis dari MUI dan Ormas Islam yang berbadan hukum. Jadi MUI tidak lagi menjadi otoritas hukum tunggal dalam soal fatwa halal ini. (1st/psp)