SUARA TANGERANG – “Bisa saya sampaikan materi secara online,?” tanyaku. “Maaf pak, pejabat dari Kementerian Dalam Negeri hadir secara ofline,” jawab panitia via WA. “Kalau gitu, hari Ahad nanti saya naik bus ke Pekanbaru,” jawabku. “Mengapa tidak naik pesawat pak, ?” tanya Panitia Bimtek DPRD. “Saya tidak mau divaksin,” jawabku. Tegas.
Bus Jakarta – Pekanbaru
Pukul 12.00, Ahad, 10 Oktober, kunaiki bus di perhentian Citeurup, Cibinong. Bus route Jawa – Sumatera tersebut bergerak dengan kecepatan sedang karena jalan macet. Bus menuju pelabuhan Merak. Kondektur bus, beberapa menit sebelum memasuki pelabuhan Merak, meminta penumpang membayar dua puluh ribu rupiah. “Untuk apa,” tanya penumpang yang duduk di seberangku. “Untuk naik kapal cepat,” jawab kondektur. “Loh, biasanya tidak ada pungutan,” protes penumpang lain.
Kondektur lalu memungut dua puluh ribu rupiah, dimulai dari mereka yang duduk di bagian belakang. Kondektur akhirnya sampai di barisan saya. Lelaki paruh baya di seberang saya, menatapku. Rupanya beliau mengenalku sebagai mantan Penasihat KPK. “Gimana pak,” tanyanya ke arahku.
Kutanyai kondektur, berapa lama perjalanan kapal cepat. “Dua jam,” jawabnya. “Kalau kapal biasa,?” tanyaku lagi. “Tiga jam,” jawabnya. “Ya, udah, nanti jika kapal yang kita tumpangi mencapai kecepatan dua jam, kami bayar dua puluh ribu rupiah ketika di Bakauni nanti,” kataku. Kondektur terperanjat. Beliau langsung mengembalikan duit yang sudah dipungut dari belasan penumpang. “Ini salah satu bentuk pemerasan,” kata lelaki yang memintai pendapatku tadi. Beliau baru beberapa bulan, purnabakti dari Kementerian Hukum dan HAM.
Konsultasi Rumah Tangga
Bus memasuki kapal sewaktu azan maghrib. Ada sekitar 50-an bus dan truk di dasar kapal. Lantai satu, sekitar 50-an pula sedan dan kenderaan pick up. Semua penumpang turun dari kendaraan menuju lantai dua dan tiga. Saya dan purnawirwan ASN tersebut menuju mushalla. Kuminta beliau menjadi imam shalat berjamaah. Tragisnya, dari ratusan penumpang, tidak lebih dari sepuluh orang yang shalat. Padahal, kapasitas mushalla dapat menampung 50-an orang. “Bisa kita ngobrol sebentar,?” pinta sang imam, usai shalat. Kami duduk di pojok mushalla.
“Isteriku banyak ulahnya,” sang imam memulai curhatnya. Diceritakan, beliau menikahi perempuan yang punya seorang anak perempuan. Sewaktu gadis ini sudah dewasa, pensiunan ASN ini minta agar anak itu dinikahkan. Sebab, dia sudah punya “boy friend” Sang isteri menolak. Alasannya, anak itu masih terlalu muda. Padahal, dia sudah mahasiswi.
Jiranku di bus ini menambahkan, isterinya minta pelbagai hal yang sebagai pensiunan, tidak mungkin dipenuhinya. Bahkan, isterinya sering minta cerai. Olehnya, untuk menghindari ‘perang teluk’, lelaki ini ke Riau, mengunjungi keluarga. “Bagaimana seharusnya saya bersikap pak,?” tanyanya.
Kuingat, data-data Kemenag menyebutkan, setiap tahun, ada 10% pernikahan, cerai. 70% di antaranya merupakan gugatan isteri. “Sebagai muslim, kita selalu merujuk Al-Qur’an dan As-Sunah dalam seluruh aspek kehidupan,” kumulai kaunseling. Gratis !!!. (teringat, salah satu kegiatanku selama 8 tahun di KPK). Kujelaskan, isteri yang tidak menjalankan kewajibannya menurut syariah Islam, diperbaiki dengan tahapan sebagai bunyi ayat Al-Qur’an berikut: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar (QS An Nisaa: 34).
Ayat Al-Qur’an di atas menjelaskan SOP mengenai hubungan suami isteri. Tahap pertama, suami menasihat isteri jika dia menyimpang dari syariah Islam. Jika masih mengulanginya, suami tidak tidur seranjang. Hal ini dimaksudkan agar isteri mau berubah perilakunya. Kalau isteri tetap tidak berubah, Allah membenarkan suami memukulinya. Pukulan yang tidak mencederakan. Suami, misalnya menggunakan sapuh lidi lalu memukuli bagian paha atau kaki isterinya.
“Namun, saya tidak melaksanakan tahapan-tahapan tersebut,” respons lelaki ini. “Masalahnya, dia sering minta cerai,” tambahnya. “Oh, isteri bapak tidak tau hadis ini,” kataku sambil menyampaikan sabda Nabi Muhammad tentang isteri yang suka minta cerai: “Siapa saja perempuan yang meminta (menuntut) cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan maka diharamkan bau surga atas perempuan tersebut.” (HR. Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Bapak ini, menunduk, sedih.
“Apakah tindakan saya meninggalkan isteri ini, salah,” tanyanya, serius. Kukatakan, dia tidak bersalah. Sebab, langkah itu dapat dianalogikan sebagai memisahkan tempat tidur. Itulah yang dimaksud ayat Al-Qur’an di atas. Lagipula, dengan mengunjungi keluarga, ada perubahan suasana yang bisa memengaruhi pemikiran kedua belah pihak. Obrolan kami terhenti karena Bilal kapal melaungkan adzan isya’. Kawan ini mengajak keluar. “Tidak perlu,” kataku menegahnya. “Kan kita sudah shalat jama’ qashar tadi,” katanya, heran. Kuterangkan, jika berada di luar mushallah atau masjid ketika bunyi adzan, kita tidak perlu ikut lagi shalat. Namun, jika berada di tempat dilaksanakan shalat tersebut, menurut sunah, kita ikut lagi shalat. Di sini, kita memeroleh pahala sunat shalat berjamaah.
Vaksin China, Syubhat ?
HP-ku berdering. Tertera nama Sekjen MUI. Namun, saya tidak bisa menjawabnya. Kutau, teleponnya tentu berkenaan dengan artikelku yang minta KPK mengklarifikasi MUI, apakah terbitnya sertifikat halal vaksin China, sesuai SOP yang ada atau tidak. Besoknya, kutelepon beliau. Kuterangkann, mengapa KPK perlu melakukan klarifikasi dengan MUI.
Kutambahkan, sebagai mantan pengurus waktu kepemimpinan Buya Hamka (1979), saya punya tanggung jawab moral untuk menjaga nama baik MUI. Kuceritakan, pada tahun 2014, dua wakil pengusaha pemotongan hewan di Melbourne, Australia menjumpai saya. Mereka mengatakan, penyembelihan hewan di Australia tersebut, bermasalah. Mereka punya barang bukti berupa video proses penyembelihan di Australia. Kusarankan agar mereka langsung ke KPK karena saya sudah pensiun di lembaga anti rasuah tersebut. Beberapa waktu kemudian, majalah Tempo, 24 Februari 2014 terbit dengan cover depan, Sertifikat Halal.
Terhadap Sekjen MUI, via telepon itu, saya minta KPK melakukan klarifikasi. Maksudku agar Sertifikat Halal MUI terhadap vaksin China, tidak seperti yang terjadi terhadap pengusaha Australia, beberapa tahun lalu. “Maaf ustadz, MUI terpaksa harus menempuh jalan tengah,” reaksi pak Sekjen.
Selesai berbual dengan Sekjen MUI, saya termenung. “MUI terpaksa harus menempuh jalan tengah.” Ucapan Sekjen MUI tadi terngiang kembali. Jalan Tengah.? Kok, soal halal haram, ada jalan tengah. ? Padahal, kata Rasulullah SAW: “(Sesuatu) yang halal telah jelas dan yang haram juga telah jelas, dan di antara keduanya ada perkara Syubhat (samar-samar). Barangsiapa menjaga diri dari perkara yang syubhat itu berarti dia telah menjaga agama dan kehormatannya (HR Bukhari dan Muslim). “Itulah sebabnya saya tidak mau divaksin,” kataku ke penumpang di sebelahku setelah mengisahkan perbicaraanku dengan Sekjen MUI. Ibu ini ternyata juga memilih naik bus tiga hari dua malam ke Medan karena tidak mau divaksin.
Saya termangu. Menurut ibu ini, beliau biasa naik pesawat. Namun, kali ini, beliau naik bus. Menurutnya, untuk vaksin, perlu biaya lima sampai tujuh ratusan ribu rupiah. Itu pun ada yang meninggal sekalipun sudah divaksi. Selain itu, setiap naik pesawat, perlu anti gen dan hanya berlaku maksimal dua hari. “Semuanya itu perlu uang pak,” keluh ibu berdarah Batak – Sunda ini. “Ya, setiap keyakinan itu, mahal harganya,” kataku membesarkan hatinya.
Kuterangkan, Nabi Muhammad dan para sahabat memilih risiko diblokade sekian lama di Makkah karena sebuah keyakinan. Mereka diblokade di sektor ekonomi, politik, maupun sosial budaya. Mereka meninggalkan rumah dan menempati lembah sempit di pinggir kota Makah selama lebih kurang tiga tahun. Mereka memilih untuk makan daun dan mengikat perut dengan batu demi memelihara aqidahnya. Padahal, Nabi Muhammad ditawari jabatan, kekayaan, dan perempuan cantik asalkan mau berhenti mendakwakan ajaran Allah SWT. Keyakinan itu pula yang Rasulullah dan para sahabat melalui risiko hijrah ke Madinah, menghadapi perang Badar, Uhud, Khandak dan beberapa peristiwa penting lainnya. Hasilnya, tercipta Masyarakat Madani dalam waktu relative singkat, 10 tahun. Hari ini, Indonesia sudah 76 tahun merdeka. Apa hasilnya.? Utang pemerintah dan swasta sudah 11 ribu trilyun. Bunga utang saja (Desember 2020), Rp. 301 trilyun. 80,2% lahan di seluruh Indonesia dikuasai asing dan aseng. Kekayaan empat orang dari 9 naga, setara dengan yang dimiliki 100 juta rakyat Indonesia.
Kuperhatikan, ibu itu geleng kepala. Lain waktu, beliau mengangguk mendengar leteranku. Kutambahkan, jika risiko sedemikian berat yang dilalui Nabi Muhammad dan para sahabat, maka apa yang kami alami tidak seberapa. Kami hanya dibanting-banting bus selama dua hari dua malam. Namun, bisa makan dan minum sekalipun tidak nyenyak tidur. “Memang, mahal sebuah keyakinan. Kita harus menerima pelbagai risiko,” kataku ke ibu itu saat turun di pool bus, Pekanbaru. Waktu sudah menunjukkan pukul 05.30, tanggal 12 Oktober. Saya bergegas naik taksi ke hotel. Sebab, pukul 08.00 saya harus menyampaikan materi di Bimtek DPRD (bersambung).
Ditulis Oleh: Abdullah Hehamahua
Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.